Sekretariat: Jl. Bintara 8 Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat (17134) Kota Bekasi Propinsi Jawa Barat Indonesia

Kamis, 15 Juli 2010

Ghibah

Pengertian Ghibah
Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)

Keharaman Ghibah
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. 

Beliau berkata:
حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

Di dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)

Di dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)

Ghibah yang Dibolehkan
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”
Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. 

Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
  1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
  2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
  3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
  5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
  6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:

1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)

Praktek Ulama Salaf
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)

Dikisahkan oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Read More

Ikhlas

Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlas pada dasarnya berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, “Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.”

Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam QS. Al-Insan (76): 9, ”Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”

Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Bayyinah: 5), ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan.
Read More

Allahu Robbi 'Auni Wahasbi

Read More

Shoffat Li Humayya

Read More

Selasa, 15 Juni 2010

Mudah Menilai Orang Lain


Tetapi mudahkan untuk menilai diri sendiri?
Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, mari sejenak kita simak cerita di bawah ini.
Suatu hari terdapat empat pemuda pertapa yang hidup bersama dalam sebuah rumah. Suatu saat mereka memutuskan untuk bersama-sama pergi bertapa selama sebulan menuju gunung yang terletak di ujung desa. Sebelum pertapaan dimulai mereka bersama-sama berjanji untuk tidak berbicara diantara mereka selama pertapaan berlangsung. Hal ini sangat penting untuk menjaga kekhusyukan selama bertapa. Akhirnya empat pemuda memulai pertapaannya masing-masing. Semua pemuda akhirnya masuk dalam kondisi kesunyian yang dipenuhi oleh keheningan. Tetapi setelah hari ke dua puluh sembilan salah seorang dari pertapa tersebut tiba-tiba teringat akan sesuatu dan berkata “Aku lupa apakah aku sudah mengunci pintu di rumah sebelum kita berangkat,”
Segera pertapa lain menyahut dengan suara lantang, “Bodoh kau! Kami sudah diam hampir satu bulan dan sekarang kau membatalkannya.”
Pertapa ketiga berkata, “Kau ini bagaimana? Kau batal juga!”
Pertapa keempat, “Puji Tuhan, akulah satu-satunya yang belum berbicara.”
LOL :-D
Sahabatku…
Seorang guru berkata “Sebelum engkau melihat kesalahan pada orang lain, sudahkah engkau melihat kesalahan pada dirimu sendiri?”
Ya Tuhanku, bimbing kami dalam membersihkan hati ini agar kami senantiasa bisa melihat kotoran-kotoran yang ada di dalam hati kami. amin
Read More

Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara


Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara



Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawas pun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.

“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”

Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”

Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.

Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”

Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”

Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.

Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat. Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”

Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”

“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”

“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.

Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”

Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.

Sumber bacaan: Alkisah Nomor 02 / 19 Jan – 1 Feb 2004
Read More

Hasud

Hasud adalah sikap suka menghasud dan mengadu domba terhadap sesama. Menghasud adalah tindakan yang jahat dan menyesatkan, karena mencemarkan nama baik dan merendahkan derajat seseorang dan juga karena mempublikasikan hal-hal jelek yang sebenarnya harus ditutupi. Saudaraku (sidang pembaca) tahukah antum, bahwa iri, dengki dan hasud itu adalah suatu penyakit. Pada mulanya iri yaitu perasaan tidak suka terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Kemudian, jika dibiarkan tumbuh, iri hati akan berubah menjadi kedengkian. Penyakit kedengkian jika dibiarkan terus akan berubah menjadi penyakit yang lebih buruk lagi, yaitu hasud.

2. Akibat Penyakit Hasud
Penyakit hasud adalah penyakit hati sama berbahanya dengan penyakit iri dan dendam. Sehingga dalam bahasa Arab iri, dengki dan hasud mempunyai arti kata yang sama yaitu hasad. Perbuatan iri dapat menghancurkan persatuan dan persaudaraan. Orang yang bertetangga dan bersaudara dapat bertengkar dan berselisih bahkan sampai pecah, bila termakan hasutan. Sehingga putuslah persaudaraan mereka.

• Nabi SAW pernah bersabda :
“Jauhilah sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu dapat memakan (menghabiskan) kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)

• Dan Bersabda Rasulullah SAW :
“Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tahukah kalian orang yang muflis (pailit/bangkrut) itu? Para Sahabat menjawab :”Orang yang tidak mempunyai harta sama sekali.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling pailit dari umatku ialah orang yang datang pada hari Kiamat kelak dengan membawa shalat, puasa dan zakat, tetapi ia telah mencaci maki orang lain, menuduh orang ini, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang-orang yang telah dianiaya ini diberi kebaikannya. Apabila amal kebaikannya habis sebelum dilunasi semua dosa-dosanya, maka diambillah kesalahan-kesalahan orang-orang (yang pernah dianiaya) dan ditumpahkan semuanya kepada dia, kemudian dia dilempar kedalam Neraka.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, kalau kita rinci akibat penyakit hasud ini kurang lebih sebagai berikut :
a. Merugikan diri sendiri dan orang lain.
b. Menimbulkan perpecahan dan perselisihan.
c. Meruntuhkan sendi-sendi persatuan dan kerukunan dalam masyarakat.
d. Mencelakakan orang lain.
e. Menghilangkan amal perbuatan baik.
f. Masuk Neraka

3. Penyebab Penyakit Hasud.
Penyebab penyakit hasud tidak jauh berbeda dengan penyakit iri dan dendam, ditambah hal-hal sebagai berikut :
a. Permusuhan dan Kemarahan.
b. Sikap tidak rela orang lain lebih baik darinya.
c. Sombong
d. Tamak dan rakus dunia.
e. Lemahnya iman.
f. Mudah diprovokasi orang lain.

4. Bagaimana Cara Menghilangkan Penyakit Hasud?
Untuk menghilangkan penyakit ini, cara yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut :
a. Menumbuhkan kesadaran bahwa permusuhan dan kemarahan akan membawa petaka dan kesengsaraan baik lahir maupun bathin.
b. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.
c. Jadilah orang yang mempunyai pendirian tidak mudah di provokasi.
d. Mengamalkan ajaran agama.
Read More

Jujur


Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kata dari kidzib (bohong atau dusta). Secara morfologi, akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu mengandung arti qabila qauluhu ‘pembicarannya diterima’.

Ayat Allah yang memberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq): “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab:8)

Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:
1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata.
Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Menepati janji termasuk kategori kejujuran jenis ini.
2. Jujur dalam berniat dan berkehendak.
Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan pembohong. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut: “Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang alim, ‘Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku telah mengerjakan hal ini dan hal itu.’ Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah berbohong karena kamu ingin dikatakan bahwa si Fulan orang alim.”
3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam).
Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, “Jika Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya.” Janji atau obsesi ini harus diucapkan secara jujur.
4. Jujur dalam menepati obsesi.
Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran (shiddiq).
5. Jujur dalam beramal atau bekerja.
Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja’ (mengharapkan rahmat Allah), ta’dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal (mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan mencintai Allah.
Read More

Bab Wudhu, Mandi dan Tayamum

Wudhu
Pengertian dan dalil disyariatkannya


Wudhu secara bahasa: dari asal kata “al wadaa’ah”, yaitu kebersihan dan kesegaran.


Secara istilah: Memakai air untuk anggota tertentu (wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki) menghilangkan apa yang menghalangi untuk sholat dan selainnya.


Dalil dari Qur’an dan Sunnah:
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
Shahih Bukhari : 135 dan Shahih Muslim : 225
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadas sehingga dia berwudhu”.


Keutamaan Wudhu:
Bersuci adalah setengah dari iman. (Shahih Muslim : 223)
Menghapus dosa-dosa kecil. (Shahih Muslim : 244)
Mengangkat derjad seorang hamba. (Shahih Muslim : 251)
Jalan ke sorga. (Shahih Bukhari : 1149 dan Sahih Muslim : 2458)
Tanda keistimewaan ummat ini ketika mereka mendatangi telaga. (Shahih Muslim : 234)
Cahaya bagi seorang hamba di hari kiamat. (Shahih Muslim : 250)
Untuk pembuka ikatan syetan. (Shahih Bukhari : 1142 dan Shahih Muslim : 776)


Sifat wudhu yang lengkap atau sempurna :
أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ


“Humran budak Utsman, telah menceritakan kepadanya, bahwa Utsman bin Affan meminta air untuk berwudlu, kemudian dia membasuh dua tangan sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur serta memasuk dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian ia membasuh muka sebanyak tiga kali dan membasuh tangan kanannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh tangan kirinya sama seperti beliau membasuh tangan kanan, kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh kaki kiri, sama seperti membasuh kaki kanannya. Kemudian Utsman berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu seperti cara aku berwudlu.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Aku juga telah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil wudlu seperti cara aku berwudlu kemudian dia menunaikan shalat dua rakaat dan tidak berkata-kata antara wudlu dan shalat, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu’.” Ibnu Syihab berkata, “Ulama-ulama kami berkata, ‘Wudlu ini adalah wudlu yang paling sempurnya yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan shalat.” (Shahih Bukhari 158 dan Shahih Muslim 226)Sifat-sifat wudhu':

Berniat (karena merupakan syarat sah ibadah termasuk wudhu’) menghilangkan hadas (dalam hati).
إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى


“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (Riwayat Bukhari : 1 dan Shahih Muslim : 1907)


2. Membaca Bismillah.


3. Mencuci telapak tangan sampai pergelangan 3 kali.


4. Mengambil air dengan tangan kanan untuk berkumur-kumur sambil menghirup air dengan hidung lalu mengeluarkannya kembali dengan tangan kiri 3 kali.


5. Mencuci wajah seluruhnya 3 kali.


6. Mencuci kedua tangan sampai siku (kanan-kiri).


7. Menyapu keseluruhan kepala kebelakang lalu ke depan terus ke telinga bagian luar dan dalam.


8. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki serta sela-sela jari kaki (kanan-kiri).


Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: Niat tempatnya di hati bukan di lidah, telah disepakati oleh para ulama. (Majmu’ arrosail al kubro : 1/243)


Faidahnya: Jikalau dia melafazkan berbeda dengan yang dihatinya maka yang dinilai adalah yang di hatinya.


Rukun-rukun Wudhu’


Apabila satu diantara rukun ini tinggal, maka batallah wudhu’nya. Diantara rukun-rukun tersebut adalah:
Mencuci seluruh wajah dari tempat tumbuhnya rambut sampai dibawah dagu dan dari telinga kanan sampai telinga kiri. Dan wajib berkumur-kumur dan mencuci hidung. (al-Maidah ayat 6)
Membasuh kedua tangan sampai siku. (al-Maidah ayat 6)
Menyapu kepala kewajibannya disepakati oleh ulama, namun berbeda pada ukurannya. (al-Maidah ayat 6)
Wajib menyapu semua kepala baik laki-laki maupun perempuan.
Wajib menyapu semua kepala hanya untuk laki-laki.
Menyapu hanya sebagian kepala.
Menyapu telinga. (daaruqutni : 1/97, hasan)
Mencuci kedua kaki sampai mata kaki serta sela-sela jari kaki. (Shahih Bukhari : 161 dan Shahih Muslim : 241)
Teratur. (Majmu’ : 1/433, dll)
Beriringan atau tidak terpisah antara satu rukun dengan rukun lainnya. (Shahih Muslim : 232)


Sunnah-sunnah Wudhu’ :
Bersiwak.
Memulai dengan Bismillah.
Membasuh kedua tangan. (Shahih Bukhari : 159 dan Shahih Muslim : 226)
Berkumur-kumur dan mencuci hidung dari satu cidukan air sebanyak 3 kali. (Shahih Muslim : 235)
Melebihkan berkumur-kumur dan mencuci hidung selain orang yang berpuasa. (Abu Daud : 142, shahih)
Mendahulukan yang kanan dari pada yang kiri. (Shahih Bukhari : 140)
Mencuci sebanyak 3 kali. (Shahih Bukhari : 156)


Perhatian:
Menyapu kepala hanya sekali saja. (an-Nasa’i : 1/88, shahih)
Makruh lebih dari 3 kali bagi orang yang menyempurnakan wudhunya. (at-Tamhiid, ibnu abdilbaar : 20/117)
Menggosok-gosok anggota wudhu. (Ibnu Hiban : 1082, shahih)
Membersihkan sela-sela jari tangan dan kaki. (Shahih)
Melebihkan membasuh pada tempat yang diwajibkan seperti kedepan kepala, atas siku dan atas mata kaki. (Shahih Bukhari : 36 dan Shahih Muslim : 246)
Hemat dalam penggunaan air. (Shahih Bukhari : 198)
Berdoa setelah wudhu. (Shahih Muslim : 234)
Sholat 2 rakaat setelah wudhu. (Shahih Bukhari : 6433 dan Shahih Muslim : 226)


Catatan:


- Boleh mengeringkan bekas wudhu. (Shahih Bukhari : 270)


- Tidak sah wudhu bagi wanita yang memakai kutek. (Ibnu Abi Syaibah : 1/120, sanad shahih)


Pembatal wudhu’ :
Buang air kecil atau buang air besar serta keluar angin dari 2 tempat. (al-Maidah ayat 6, al ijmaa’ hal. 17)
Keluar mani, wadi atau madzi. (Shahih Bukhari : 269 dan Shahih Muslim : 303)
Tidur lelap. (al-muhalla : 1/222-231). Ada 8 pendapat ulama, silahkan lihat di hal. 129-132)
Hilang akal atau gila, mabuk, pingsan. (al-Ausath ibnu al Mundzir : 1/155)
Menyentuh kemaluan tanpa pembatas, baik dengan syahwat atau tidak.
Memakan daging onta. (Shahih Muslim : 360)


Hal-hal yang tidak membatalkan wudhu’ :
Saling bersentuhan laki-laki dengan wanita tanpa pembatas. (al-Umm : 1/15)
Keluar darah dari selain tempat yang biasa keluar seperti karena luka atau bekam. (Shahih Bukhari : 1/80)
Koi atau pengobatan dengan menggunakan besi panas. (Tirmidzi : 87, shahih)
Tertawa terbahak-bahak dalam sholat atau diluar sholat. (dalil yang mengatakan mengulang wudhu adalah dhaif, daaruqutni : 1/162)
Memandikan dan membawa mayat. (Abu Daud : 3162, dll)
Ragu dengan telah batalnya wudhu atau belum. (Shahih)


Hal-hal yang dianjurkan untuk berwudhu’ :
Ketika berdzikir: keumuman berdzikir, membaca al-Qur’an, tawaf di ka’bah dan lain-lain. (Abu Daud : 17, shahih)
Ketika akan tidur. (Shahih Bukhari : 247 dan Shahih Muslim : 2710)
Bagi orang yang junub ketika akan makan, tidur atau ingin mengulanginya kembali. (Shahih Bukhari : 288 dan Shahih Muslim : 305)
Sebelum mandi junub. (Shahih Bukhari : 248 dan Shahih Muslim : 316)
Setelah makan makanan yang di bakar atau di panggang. (Shahih Muslim : 351)
Memperbaharui wudhu ketika akan sholat. (Shahih Muslim : 277)
Ketika terjadi hal yang membatalkan wudhu. (Tirmidzi : 3689, shahih)
Setelah berobat dengan besi panas. (Tirmidzi : 87, shahih)


Menyapu pembatas :
Menyapu Khuffain (sandal dari kulit yang menutup dua mata kaki) hukumnya boleh tapi mencucinya lebih utama. Masanya 3 hari 3 malam untuk yang musafir dan sehari semalam bagi yang bermukim.


Syarat menyapu khuffain yaitu memakainya dalam keadaan suci.


Yang membatalkannya yaitu berakhirnya masa menyapu, membukanya dan berhadats sebelum memakainya. Sedangkan membukanya bukan berarti membatalkan wudhu.


Menyapu kaus kaki dan sandal ada 3 pendapat.
Menyapu penutup kepala seperti imamah atau sorban dan kerudung bagi wanita ketika berwudhu apabila takut dingin.
Pembungkus tulang yang patah seperti gips.





Mandi


Pengertian mandi
Secara bahasa : Mengalirkan air kepada sesuatu.
Secara syar’i : Menyiramkan air yang bersih keseluruh badan karena hal-hal tertentu.

Hal-hal yang mewajibkan mandi:
-Keluar mani (dalam keadaan sehat) waktu sadar atau tidur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (An-Nisa ayat 43)
-Bertemunya dua alat kelamin walaupun tanpa keluar mani. (Shahih Muslim : 350)
-Haid.
-Nifas.
-Masuk Islamnya orang kafir. (Al-Majmu’ : 2/175)
-Sholat Jum’at. (Shahih Bukhari : 879, Shahih Muslim : 846)
-Meninggal.


Mandi-mandi yang di sunnahkan :
  • Mandi dua hari raya. (musnad imam syafei : 114)
  • Mandi setelah sadar dari pingsan. (Shahih Bukhari : 687 dan Shahih Muslim : 418)
  • Mandi ihram pada haji dan umrah. (Tirmidzi : 831, hasan)
  • Mandi ketika memasuki Makkah. (Shahih Bukhari: 1573 dan Shahih Muslim : 1259)
  • Mandi ketika melakukan jima’ berulang kali. (Abu Daud : 216, hasan)
  • Mandi setelah memandikan mayit. (Tirmidzi : 993, shahih, dll)
  • Mandi bagi wanita yang istihadhoh (hadits dhoif: jaami’ ahkaamu an-nisaa’ : 1/230-237)


Catatan: Niat merupakan syarat sah ibadah termasuk mandi.


Rukun mandi
Menyiram air keseluruh tubuh atau badan: kulit dan rambut. (Shahih Bukhari : 248 dan Shahih Muslim : 316)


Hal-hal yang disunnahkan dalam mandi
Induk hadits dalam hal ini lihat Shahih Bukhari : 248, 266 dan Shahih Muslim : 316, 317)
-Membasuh kedua tangan 3 kali sebelum memasukkan tangan kedalam air. (Shahih Muslim : 317)
-Membasuh kemaluan dan sekitarnya yang terkena kotoran. (Shahih Bukhari : 154, Muslim 267)
-Mencuci tangan setelah mencuci kemaluan. Disarankan dengan sabun agar lebih bersih. (Shahih Muslim : 317)
-Berwudhu’ secara sempurna seperti wudhu hendak sholat. (Fathul baari : 1/429)


Catatan:
Mandi junub untuk wanita sama seperti mandi junub laki-laki
Tidak mesti mengurai rambut yang di ikat, yang penting air sampai kepangkal rambut.
Tidak mesti berwudhu setelah mandi, apabila tidak terjadi hal-hal yang membatalkan wudhu’





Tayamum


Pengertian
Secara bahasa: Maksud
Secara syar’I : Bermaksud ke tanah (permukaan bumi).


Dalil di syariatkannya:
Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6
فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً

“…maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)…”.
Hadits : Musnad Ahmad jilid 2 no 222
Ijma’ : al-Mughni 1/148


Hal-hal yang membolehkan tayamum :
-Ketika tidak mendapatkan air baik mukim atau safar.
-Berhalangan menggunakan air.


Catatan:
- Tayamum merupakan pengganti wudhu dan mandi ketika ada hal yang membolehkannya dan berpahala bagi orang yang melakukannya.
- Mayat boleh di tayamumkan apabila terpenuhi syarat dibolehkannya tayamum. (al-Mahalla : 2/158)
- Tidak mesti orang yang melakukan tayamum itu dengan syarat perjalanan jauh.
- Tidak disyaratkan tayamum bagi orang yang melakukan perjalanan untuk ketaatan saja. (al-Mahhalla : 2/116)
- Apabila berkumpul antara mayat, wanita haid dan orang yang terkena najis sedangkan air tidak cukup kecuali hanya untuk satu orang saja. Maka yang lebih berhak diantara mereka menurut jumhur ulama (al Majmu’ : 2/316) adalah yang memiliki air tersebut. Namun apabila tidak ada yang memiliki air tersebut dan air itu boleh digunakan, maka ada perbedaan pendapat para ulama. Silahkan lihat sumber asli yaitu kitab Shahih Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 193.


Tanah apa yang boleh di gunakan dalam tayamum? Ada 2 pendapat ulama, yaitu:
-Permukaan bumi secara umum: gunung, kerikil, tanah dan husoba’ (Abu Hanifah, Abu Yusuf, Malik dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Taimiyah)
-Tanah bukan yang lain (Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Abu Tsur, dll)


Cara melakukan tayamum sesuai tuntunan Rasulullah:
Memukulkan kedua telapak tangan ke tanah kemudian meniupnya. Lalu menyapu wajah dan kedua tangan. (Shahih Bukhari : 338 dan Shahih Muslim : 798)


Pembatal tayamum sama seperti hal yang membatalkan wudhu’.
 

Catatan:

- Apabila mendapati air setelah tayamum sebelum melakukan sholat, maka batal tayamumnya dan wajib berwudhu’.
- Apabila sedang sholat ada orang yang mengantarkan air atau mendengar adanya air, ada 2 pendapat ulama: memutuskan sholat dan wajib berwudhu (dhoif Tirmidzi : 124). Sedangkan pendapat yang lain, melanjutkan sholat hingga selesai. (Surat Muhammad ayat 33)
- Apabila telah selesai sholat baru mendapati air, maka tidak perlu mengulangi sholatnya.
Read More

Mahal Qiyam Ad-Diya Ulami

Read More

Sabtu, 15 Mei 2010

Thoharoh 1 (Kitab Bulughul Maram)

عن أبي هريرة رضي الله عنه  قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم في البحر : 
((هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته)).أخرحه الأربعة وابن أبي شيبة وللفظ له وصحّحه ابن خزيمة والترمذي .
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata:Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam bersabda tentang  laut:Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (Dikeluarkan oleh empat dan Ibnu abi Syaibah ,dan hadits ini adalah lafadz ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Ibnu khuzaimah dan Tirmidziy).


Penjelasan  Umum (Sababul Wurud)
Pada asalnya hadits ini merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [sebagaimana dalam Al-Muwatha] bahwa Abu Hurairah berkata: “Seorang  pria dari Bani madlij (1) bernama ‘Abdullah (2)  datang  kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah kami menyeberangi  lautan dan kami   hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengan air tersebut maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab:
هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. ”
Beliau mengajarkan bahwa air laut itu ‘thahuur’ suci dan mensucikan, serta bangkai hewan laut itu halal, sehingga hewan-hewan yang hidup di lautan tidak perlu disembelih.
Beberapa Pelajaran Dari Hadits:
  • Hadits ini menunjukkan bahwa air laut itu suci dan mensucikan.
  • Bahwasaannya air laut dapat mengangkat (menghilangkan) najis besar dan kecil serta dapat menghilangkan najis yang menodai tempat yang suci berupa badan,pakayan,dan atau yang lainnya.
  • Air jika berubah rasa,warna dan baunya dengan sesuatu yang suci maka ia tetap suci,selama air tersebut tetap pada hakikatnya,kendatipun ia sangat asin,panas,dingin
  • Hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib membawa persediaan air yangcukip untuk bersuci meskipun mampu untuk melakukan hal tersebut,karena penanya dalam hadits ini mengabarkan bahwa mereka hanya  membawa sedikit air   .
  • Bangkai hewan laut halal, dan yang dimaksud dengan hewan laut adalah hewan yang hanya hidup di laut (habitatnya di laut), bukan hewan darat yang mati di laut.
  • Air yang dipakai untuk menghilangkan hadats dan najis harus (wajib) air yang suci dan mensucikan.
  • Keutamaan berfatwa dengan memberikan jawaban tambahan dari yang ditanyakan, hal tersebut dapat dilakukan jika seorang mufti menduga dan memperkirakan bahwa penanya akan akan mengalaminya dan ia tidak mengetahui hukumnya. Dalam hadits ini Nabi hanya ditanya tentang hukum berwudhu dengan air laut, tetapi Beliau memberikan jawaban tambahan (tentang kehalalan bangkai hewan Laut) karena beliau telah memperkirakan bahwa mereka akan berhadapan dengan masalah tersebut. Berkata Ibnul ‘Arabiy: “Hal ini termasuk bentuk kebaikkan dalam berfatwa –mahaasinil fatwa-. Seorang mufti memberikan jawaban lebih banyak dari yang ditanyakan, guna menyempurnakan faidah serta memberikan faidah berupa ilmu yang tidak ditanyakan, hal ini semakin jelas ketika nampak  kebutuhan terhadap (pengetahuan tentang) hokum tertentu-sebagai man dalam hadits ini-.
  • Pentingnya kembali dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana hal ini telah dicontohkan oleh ‘Abdullah al-Madlaji dalam hadits ini. Beliau mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air (minum) jika ia berwudhu dengan air tersebut maka ia dan kawan-kawannya akan kehausan, tetapi mereka belum mengetahui hukumnya berwudhu dengan air laut, sehingga beliau datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan hal tersebut.

Khilaf (Perbedaan Pendapat) Para ‘Ulama Tentang Hukum Memakan Hewan Laut.
Meskipun hadits di atas telah menjelaskan halalnya bangkai hewan laut, namun hal ini tetap menyisakan perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama madzhab, berikut perinciannya:
  • Al-imam Abu Hanifah berpendapat: Semua jenis ikan hukumnya halal dan selain ikan hukumnya haram, seperti anjing laut, babi laut, ular  dan semua jenis hewan yang bentuknya sama dengan hewan darat.
  • Imam Ahmad berpendapat: Semua hewan laut boleh, kecuali kodok, ular, dan buaya. Adapun (alasan pengharaman) kodok dan ular karena keduanya termasuk hewan yang menjijikkan (al-mustakhbatsaat), sedangkan buaya (karena) ia bertaring dan buas.
  • Imam Malik dan Syafi’i berpendapat; Semua hewan laut boleh tanpa kecuali. Mereka berdalil dengan firman Allah (Dihalalkan atas kalian hewan buruan laut (shaidul bahri) dan ma’na ash-shaid adalah hewan yang diburu. Dan juga sabda nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Dihalalkan untuk kami dua bangkai; belalang dan al-hut (ikan). (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Dalil yang lain; hadits yang dibahas di sini; “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Pendapat yang paling rajih: Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i (semua bangkai hewan laut halal tanpa kecuali) ,wallaahu a’ lam bish shawab.
Read More

Thoharoh 2 (Kitab Bulughul Maram)


Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنّ الماء طهور لا ينجّسه شيء
“Sesungguhnya air itu suci,tidak ada sesuatu pun yang menaji-sinya”. Diriwayatkan oleh tiga dan dishahihkan oleh Ahmad.

Penjelasan Umum.
Hadits ini dikenal nama hadits sumur budha’ah, berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; “Bolehkah kami berwudhu denagan (air) sumur budhaa’ah? Sementara kain pembalut haidh, daging anjing, dan benda-benda berbau busuk dibuang ke dalamnya? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: ”Sesungguhnya air tersebut suci dan mensucikan (thahur). . .” Al-Hadits.
Dalam hadits ini Rasulllah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa air itu suci dan mensucikan meskipun tercampur oleh sesuatu yang najis, najis tersebut tidak menajisinya, ia tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi hadits ini hanya berlaku untuk air yang mencapai dua qullah (sekitar 500 L/ 1/2 m3), karena air yang kurang dari dua qullah memungkinkan untuk terkontaminasi oleh najis  (sebagaimana akan dijelaskan pada hadits selanjutnya). Dan tidak diragukan lagi bahwa air sumur budhaa’ah mencapai dua qullah. Sumur tersebut lebarnya enam hasta, tinggi airnya maksimal sampai kelamin (ketika sedang pasang) dan minimal di bawah aurat (ketika sedang susut) sebagaimana yang dihikayatkan oleh Abu Daud. Beliau berkata; Saya bertanya kepada penjaga sumur budhaa’ah tentang kedalamannya. Seberapa tinggi airnya ketika sedang pasang? Beliau menjawab, ’sampai al-’aanah (rambut kemaluan)’. Saya bertanya lagi, jika susut? dia menjawab  ‘dibawah aurat’. Abu Daud berkata, Saya telah mengukur sumur budhaa’ah dengan bajuku. Aku bentangkan baju di atasnya lalu  aku mengukurnya dengan hasta, ternyata luasnya mencapai enam hasta. Dan saya bertanya lagi kepada yang membukakan pintu untukku. Lalu ia mengajakku masuk ke dalamnya, saya bertanya; apakah bangunannya ada yang berubah dari sebelumnya? Beliau menjawab ‘tidak’.
Pelajaran Penting Dari hadits:
1. Pentingnya merujuk dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan  yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana perintah Allah dalam Al-Quran: Fas aluu ahladz-Dzikri in kuntum Laa Ta ‘ lamuun (Bertanyalah kepada Ahlidz-dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui.
Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat yang bertanya dalam hadits ini. Beliau tidak mengetahui hukumnya berwudhu dengan air yang tercampuri oleh najis, sehingga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Hukum asalnya air itu suci.
3. Air yang banyak tidak terpengaruh oleh najis, kecuali jika berubah warna, rasa, dan baunya sebagaimana dalam hadits: “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika berubah bau, rasa, dan warnanya”. (HR Ibnu Majah dan didhaifkan (lemah) oleh Abu hatim rahimahullah.
Read More

Thoharoh 3 (Kitab Bulughul Maram)

عن أبي أمامة الباهلي رضي الله تعالى عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : إنّ الماء لا ينجّسه شيء إلا ما غلب على ريحه وطعمه ولونه.

Dari Abu umamah al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika (najis tersebut) merubah baunya, rasanya, dan warnanya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu majah dan dinyatakan dhai’f (lemah) oleh Abu hatim.
Dalam riwayat al-Baihaqiy;

الماء طهور إلاّ أن تغيّر  ريحه أو طعمه أو لونه بنجاسة تحدث فيه

“Air itu thahuur (suci dan mensucikan) ,kecuali jika berubah rasanya,baunya,dan warnanya karena najis yang terjatuh ke dalamnya”.

Beberapa Pelajaran Dari Hadits Ini.
Air yang tercampuri oleh najis namun tidak berubah warna, rasa dan baunya maka ia tetap suci dan tidak najis. Meskipun hadits ini lemah secara sanad, namun para ‘ulama sepakat bahwa ma’nanya benar, bahwa air yang salah satu dari ketiga sifatnya (warna, rasa, dan bau) berubah karena najis, maka air tersebut menjadi najis. hal ini telah ditegaskan oleh Al Imam Asy Syafi’i dan ‘ulama lainnya.
Khilaf (Perbedaan Pendapat) ‘Ulama Jika air tercampur oleh najis namun tidak berubah rasa, warna, dan baunya.

Pendapat pertama: Air tersebut tetap suci, banyak maupun sedikit, ini adalah pendapat  Al Qaasim, Yahya bin Hamzah, Imam Malik (dalam salah satu riwayat), Dzahiriyah, dan Imam Ahnad dalam salah satu riwayat. Mereka berdalil dengan hadits “Innal Maa’a Thahuurun” (sesungguhnya air itu suci).

Pendapat kedua: Jika air itu sedikit maka ia menjadi najis secara mutlak meskipun tidak berubah warna, rasa, dan baunya). Sebaliknya jika air itu banyak, maka air tersebut tidak dipengaruhi oleh najis yang mencampurinya kecuali jika warna, rasa dan baunya berubah. Ini adalah pendapat Hadawaih (Hadoyah), Hanafiyah, dan Syafi’iyah.
Madzhab kedua ini kembali berbeda pendapat dalam menentukan batasan dan standar air yang banyak dan sedikit tesebut.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa air yang banyak itu adalah jika salah satu tepinya digerakkan oleh manusia, maka gerakan (riak) itu tidak sampai di tepi yang lain.
Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i memandang bahwa batasan air yang banyak itu adalah mencapai dua qullah (+- 500 liter/1/2 m kubik).

Pendapat ketiga: Sesungguhnya najis dapat merusak (menajisi) air yang sedikit meski tidak berubah warna, rasa, dan baunya. Pedapat ini adalah riwayat (lain) dari Imam Malik.
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa  air yang banyak meski  tercampuri oleh najis namun tidak berubah warna, rasa dan baunya maka ia tetap suci dan dapat dipakai bersuci.
Hal ini dikuatkan oleh hadits sumur budhaa’ah (hadits ke-2). Sumur tersebut biasa ditempati membuang benda-benda najis seperti kain pembalut haidh, bangkai anjing, dan benda-benda berbau busuk. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab: “Sesungguhnya air itu suci, tidak dinajisi oleh sesuatupun” jawab beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Read More

Dengki

Dengki artinya merasa tidak senang jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan berusaha agar kenikmatan tersebut cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta merasa senang kalau orang lain mendapat musibah. Sifat dengki ini berkaitan dengan sifat iri. Hanya saja sifat dengki sudah dalam bentuk perbuatan yang berupa kemarahan, permusuhan, menjelek-jelekkan, menjatuhkan nama baik orang lain. Orang yang terkena sifat ini bersikap serakah, rakus, dan zalim. ia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, bahkan tidak segan-segan berbuat aniaya (zalim) terhadap sesamanya yang mendapatkan kenikmatan agar cepat kenikmatan itu berpindah kepada dirinya. Setentang sikap buruk yang namanya dengki ini, simak Hadist tersebut ini :

• Bersabda Nabi SAW :
“Dengki itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)

• Dan Nabi SAW juga bersabda :
“Menimpa kepadamu suatu penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu benci-membenci dan dengki. Dialah pencukur agama, bukan sekedar pencukur rambut.” (HR. Turmudzi)

Saudaraku, Hadist yang pertama menjelaskan bahwa dengki itu memakan kebaikan seperti api yang memakan kayu bakar. Disini jelas bahwa dengki itu suatu hal yang berlawanan dengan kebaikan, bahkan menjadi musuhnya. Sedangkan Hadist yang kedua menjelaskan bahwa jika suatu masyarakat telah terjangkiti penyakit dengki, maka agama akan hancur, tatanan dan hukum yang ada tidak akan berguna. Oleh karena itu, jika sifat ini tidak dihindari, tatanan kehidupan bermasyarakat akan kacau dan rusak, bahkan agama tidak lagi dijadikan pedoman hidup.

2. Penyakit Dengki
Diatas sudah dijelaskan bahwa penyakit dengki berpangkal dari iri dan marah, sehingga penyebab dari iri juga merupakan penyebab dari penyakit iri, ditambah hal-hal sebagai berikut :
a. Kalah bersaing dalam merebut simpati orang atau dalam usaha.
b. Sifat kikir yang berlebihan
c. Cinta dunia dan sejenisnya.
d. Merasa sakit jika orang lain memiliki kelebihan
e. Tidak beriman kepada qadha dan qadar.

3. Bahaya Penyakit Dengki
Semua penyakit, apapun namanya, pasti mendatangkan bahaya bagi orang yang dihinggapinya. Demikian juga penyakit hati yang dibawa oleh penyakit dengki ini antara lain sebagai berikut :
a. Mendorong untuk berbuat maksiat seperti menggunjing, berbohong, marah, senang jika orang lain mendapat musibah.

• Rasulullah SAW bersabda :
“Manusia akan senantiasa mampu berbuat kebajikan selama tidak saling hasud satu sama lain.” (HR. Thabrani)

b. Mencelakakan orang lain
c. Merugikan diri sendiri dan orang lain
d. Kebutaan hati dalam menerima kebenaran, karena sibuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang lain.
e. Tidak akan diakui sebagai umat Rasulullah SAW dan tidak akan mendapat syafaatnya pada hari Kiamat nanti.

• Bersabda Rasulullah SAW
“Bukanlah dari golonganku orang yang memiliki kedengkian.” (HR. Thabrani).

f. Masuk Neraka tanpa dihisab terlebih dahulu.

• Nabi SAW Bersabda :
“Ada 6 (enam) kelompok orang yang akan masuk Neraka sebelum dihisab amalnya, disebabkan oleh enam perkara. Yaitu :
1. Penguasa karena ke zalimannya
2. Orang Arab (atau ras lainnya) yang fanatik dengan kesukuannya
3. Para tokoh, karena kesombongannya
4. Para pedagang karena kecurangannya
5. Orang-orang awam karena kebodohannya
6. Para ulama karena hasudnya.” (HR. Dailami)

4. Bagaimana Cara Menghindari Penyakit Dengki ?
Adapun cara yang bisa ditempuh untuk menghindari penyakit dengki, antara lain :
a. Menjauhi semua penyebabnya.
b. Mewaspadai bahayanya.
c. Membiasakan diri untuk memberikan dukungan positif terhadap apa yang dialami saudara kita.
d. Mempererat tali persaudaraan sehingga terjalin kerukunan dan persaudaraan.
e. Selalu berdzikir, sehingga hati merasa dekat dengan Allah SWT.
f. Ilmu dan amal.
Read More

Syukur

Syukur menurut kamus “Al-mu’jamu al-wasith” adalah mengakui adanya
kenikmatan dan menampakkannya serta memuji (atas) pemberian nikmat tersebut.Sedangkan makna syukur secara syar’i adalah : Menggunakan nikmat AllahSWT dalam (ruang lingkup) hal-hal yang dicintainya. Lawannya syukur adalah kufur.Yaitu dengan cara tidak memanfaatkan nikmat tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT.

Definisi ini ditulis oleh Ibnu Quddamah dalam bukunya “minhajul qashidin”. Bersyukur pada tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua keadaan yaitu sebagai tanda kerendahan hati terhadap segala nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak dan sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan. Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan sekiranya kamu mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Al Baqarah ayat 152 : ‘Maka ingatlah Aku ( Allah ) niscaya Aku akan mengingatimu dan syukurilah nikmatku serta jangan sekali-kali kamu menjadi kafir‘.

Lalu syukur dibagi menjadi tiga macam:
1. Syukur dengan hati,
yaitu niat melakukan kebaikan dan tidak menampakkannya kepada manusia. Adapun syukur dengan hati ialah Syukur dengan lisan ialah Rasulullah SAW. bersabda: “Membicarakan kenikmatan itu adalah syukur dan meninggalkannya adalahkekufuran(akan nikmat).” (HR.Ahmad).
2. Syukur dengan lisan,
yaitu menampakkan rasa terima kasih kepada Allah SWT dengan pujian.
3. Syukur dengan anggota badan,
ialah menggunakan seluruh nikmat Allah dalam ketaatan kepadaNya. Oleh karena makna syukur adalah menggunakan seluruh kenikmatan dengan cara yang dicintai oleh Allah, maka tidak mungkin seseorang dapat mensyukuri nikmatNya kecuali dengan mengetahui apa-apa yangdicintai oleh Allah dan apa-apa yang dibenci-Nya.
Read More

Bab Air dan Istinja'

Air

Macam-Macam Air
Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci adalah air yang bersih (suci dan menyucikan), yaitu air yang turun dari langit atau bersumber dari bumi yang tidak terkena najis dan belum di pakai untuk bersuci.

Ditinjau dari segi sumbernya, air terbagi menjadi tujuh :

1. Air Hujan

2. Air Sumur
3. Air Laut
4. Air Sungai
5. Air Salju
6. Air Telaga
7. Air Embun


Sedangkan ditinjau dari segi hukumnya, air terbagi menjadi empat kategori :

1. Air suci menyucikan, yaitu air muthlak.
Artinya air yang masih murni dan statusnya tidak di pengaruhi oleh hal apapun selain pengaruh tempat (Maksudnya adalah, setiap air yang mengalami perubahan nama atau status karena semata-mata memandang tempat atau wadahnya, semisal air laut. Dinamakan air laut karena air tersebut memang berada dilautan. Apabila dipindah ke dalam kendi, niscaya air tersebut akan berubah namanya menjadi air kendi, dimasukkan ke dalam sumur menjadi air sumur, demikian seterusnya. Berbeda dengan air yang memiliki status atau nama yang permanen, seperti air kopi, air susu, dll. Air ini, diletakkan dalam wadah apapun tetap namanya tidak akan berubah, baik diletakkan dalam gelas, kendi, gallon, maupun yang lainnya. Air yang memiliki status permanen bukan termasuk air yang suci menyucikan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk berwudlu, mandi, dan menghilangkan najis), seperti contoh air yang di sebutkan di atas.

2. Air suci dan dapat menyucikan, tetapi makruh di gunakan pada badan, semisal air musyammas.
Air musyammas adalah air panas akibat sengatan matahari di dalam bejana yang terbuat dari logam selain emas dan perak, dan berada di daerah yang panas seperti Negara yaman saat kemarau (Untuk Negara Indonesia, termasuk bercuaca sedang, sehingga air yang terkena sengatan matahari tidak masuk kategori musyammas).

3. Air suci tetapi tidak dapat menyucikan, seperti : - Air musta’mal, yaitu air yang telah di gunakan untuk menyucikan hadats atau menghilangkan najis, selama warna, rasa dan baunya tidak berubah, serta volume airnya tidak bertambah. - Air yang telah berubah salah satu sifatnya , dikarenakan bercampur ( bersenyawa ) dengan benda suci lainnya, dengan perubahan yang dapat mempengaruhi nama dan statusnya, semisal kopi, teh, dll.

4. Air Mutanajjis, Yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis), sedang volumenya kurang dari dua qullah, baik terjadi perubahan pada sifat-sifat air tersebut atau tidak, ataupun mencapai dua qullah , namun air tersebut mengalami perubahan, dan Jika tidak terjadi perubahan maka sah di gunakan untuk bersuci.


Istinja' 

1. Makna Istinja’
Apa yang dimaksud dengan istinja’? Istinja’ adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu.
2. Istinja’ dengan menggunakan air
Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya. Berkaitan dengan orang-orang yang bersuci dengan menggunakan air, Alloh Ta’ala menurunkan firman-Nya:


Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at Taubah :108)
Berkata Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Mereka istinja’ dengan menggunakan air, maka turunlah ayat ini di tengah-tengah mereka.” (Hadits shohih riwayat Abu Dawud)
3. Istinja’ dengan menggunakan batu
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya-yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul-diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)
Pengkhususan larangan pada benda-benda tersebut menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Kapan seseorang dikatakan suci ketika menggunakan batu dan selainnya? Seseorang dikatakan suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.
Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
4. Istinja’ dengan tulang dan benda dimuliakan
Seseorang tidaklah diperbolehkan istinja’ dengan menggunakan tulang, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Salman radhiallahu ‘anhu di atas. Mengapa dilarang istinja’ dengan tulang? Ulama mengatakan illah (sebab) dilarangnya istinja’ dengan menggunakan tulan ialah:
a. ) Apabila tulang untuk istinja’ berasal dari tulang yang najis, tidaklah ia akan membersihkan tempat keluarnya najis tersebut, justru semakin menambah najisnya tempat tersebut.
b.) Apabila bersal dari tulang yang suci lagi halal, maka ia merupakan makanan bagi binatang jin, dan harus kita muliakan dan kita hormati. Dalam hadits riwayat Muslim dari jalur Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Janganlah kalian istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang, sebab ia merupakan bekal saudara kalian dari kalangan jin.”
Berdasarkan illah (sebab) yang disebutkan di atas, maka dikiaskan kepadanya makanan manusia dan binatang, karena bekal manusia dan kendaraannya harus lebih dihormati. Dan sedemikian juga segala benda yang dituliskan di dalamnya ilmu agama Islam, karena ia lebih mulia dari sekedar bekal fisik manusia, terlebih lagi bila didalamnya tertulis al-Qur’an, sunnah dan nama-nama Alloh.
5. Istinja’ dengan tangan kanan
Tidaklah diperbolehkan istinja’ dengan menggunakan tangan kanan, karena tangan kanan dipergunakan untuk sesuatu yang mulia, berdasarkan kepada kaidah-kaidah umum syari’at Islamiyyah dalam menggunakan tangan dan kaki. Dan dalam masalah istinja’ ini, ada larang secara khusus dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang disampaikan oleh sahabat Salman al Farisi radhiallahu ‘anhu, yakni: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
6. Disunnahkan buang hajat di tempat yang jauh dari manusia
Hal ini dimaksudkan agar uaratnya tidak dilihat oleh orang lain (ketika buang hajat). Ini merupakan suatu adab dan sopan santun yang mulia, di dalamnya terdapat penjagaan kehormatan seseorang, sebagaimana telah dimaklumi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai suri tauladan utama kita, telah mencontohkan hal ini, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma:” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pergi sehingga tidak terlihat oleh kami, lalu menunaikan hajatnya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Namun apabila seseorang buang hajat di tempat tertutup, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya, maka hal itu telah mencukupinya, karena telah didapatkan maksud dari menjauhkan diri dari manusia, yaitu agar auratnya tidak dilihat oleh orang lain (ketika buang hajat).
7. Memilih tempat empuk untuk buang air kecil
Bilamana seseorang melakukan buang air kecil di tanah lapang atau padang pasir, maka hendaknya ia memilih tempat yang empuk, agar air kencingnya tidak terpercik kembali ke anggota tubuhnya sehingga ternajisi oleh kencing tersebut.
Kalau seseorang mengatakan: Bukankah asalnya tidak ada percikan air kencing ke tubuh, mengapa kita harus menjaga diri seperti ini?
Jawab: Karena hal ini tentu saja lebih menyelamatkan diri orang yang buang air kecil. Lagi pula, kencing di tempat yang cadas, terkadang akan membuka pintu was-was. Maksudnya, dia akan terhinggapi rasa takut terkena percikan air kencing, lalu semakin bertambah perasaan tersbeut dan kemudian berubah menjadi was-was, yang tidaklah mengetahui akibat dan kesudahannya kecuali Alloh. Semoga Alloh menyelamatkan kita dari was-was.
8. Kapan membaca do’a masuk tempat buang air
Ketika seseorang hendak masuk ke WC atau tempat yang dipersiapkan untuk buang air besar atau bunag air kecil, disunnahkan untuk membaca do’a masuk tempat buang air. Jika seseorang bertanya: Bagaimana jika buang airnya di tempat terbuka atau tanah lapang?
Jawab: Ulama mengatakan, jika seseorang buang air di tanah lapang atau tempat terbuka, maka ia membaca do’anya ketika pada langkah terakhir sebelum dia buang air atau ketika dia hendak duduk untuk buang air.
Do’anya adalah


Dengan menyebut nama Alloh, saya berlindung dari setan laki-laki dan setan perempuan.”
Lafazh “bismillah” terambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya dengan derajat shohih. Adapun lafazh:


terambil dari hadits riwayat Bukhari-Muslim.
Barangsiapa membaca “bismillah” maka ia terlindungi dari pandangan jin, sebagaimana yang disebutkan hadits shohih riwayat Tirmidzi (lihat at-Tirmidzi:602)
Hikmah disyari’atkannya membaca kalimat perlindungan :


Ulama mengatakan:”Tempat buang air adalah tempat yang jelek dan tempat yang jelek adalah tempat syaitan, karena itulah sangat tepat bilamana masuk tempat tersebut disyari’atkan untuk meminta perlindungan terhadap Alloh Ta’ala dari kejelekan syaitan laki-laki dan perempuan, agar tidak terkena gangguan kejelekannya.”
9. Hikmah do’a ketika keluar tempat buang air
Ketika seseorang keluar dari tempat buang air, disyari’atkan untuk mengucapkan do’a:
Ya Alloh, aku memohon ampunan-Mu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dll)
Apa hikmah disyari’atkannya mengucapkan istighfar ketika keluar dari tempat buang air?
Jawab: Ulama mengatakan, di antara hikmah yang paling nampak ialah ketika seseorang diringankan dari kotoran dan gangguan fisik, ia teringat gangguan dosa, lantas ia memohon agar Alloh Ta’ala meringankan dirinya dari gangguan dan dosa yang dilakukannnya.
10. Bila buang air menghadap matahari dan bulan
Sebagian ulama ahli fiqih berpendapat bahwa buang air dengan menghadap ke matahari dan bulan-dalam rangka memuliakan keduanya-tidaklah diperkenankan. Namun bila kita teliti lebih lanjut dan detail, tidaklah ada dalil yang menunjukkan atas larangan ini. Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah:”Tidaklah dinukil satu kalimat pun yang berkaitan dengan hal ini, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, baik dalam hadits dengan sanad shohih maupun dho’if, baik mursal (seorang tabi’in meriwayatkan hadits secara langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam) ataupun muttashil (bersambung sanadnya) dari awal sanad hingga sampai ke Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dalam masalah ini, tidaklah ada asalnya dalam syari’at.” (Hasyiah Roudh Murbi’ 1/134)
Adapun i’tiqod (keyakinan) orang awam bahwa bulan adalah wajah wanita, tidak ada dalil yang menunjukkan kepada hal ini. Wallohu A’lam.
11. Beberapa tempat yang dilarang untuk buang air
Ada beberapa tempat yang kita dilarang buang air padanya, di antaranya:
a). Di tempat berteduh dan di jalan umum
Diharamkan buang air besar dan kecil di tempat ini karena akan mengganggu orang yang memanfaatkan tempat tersebut untuk berjalan ataupun berteduh. Alloh Ta’ala berfirman:


Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al Ahzab:58)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Takutlah kalian dari dua perkara yang menyebabkan laknat!” Para sahabat bertanya:”Wahai Rasulullah, apa dua perkara yang menyebabkan laknat tersebut?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Orang yang buang hajat di jalan manusia dan tempat berteduh mereka.” (HR. Muslim)
b). Di bawah pohon yang dimanfaatkan manusia
Hal ini karena akan mengganggu terhadap orang yang akan memanfaatkan pohon tersebut, baik dalam hal memetik buah yang dapat di manfaatkan maupun mengambil kayu atau dahannya; dan seorang muslim tidaklah boleh mengganggu sesamanya, sebagaimana keumuman ayat 58 dari surat al-Ahzab di atas, dan juga seorang muslim dilarang memudharatkan orang lain dan membalas kemudharatan dengan kemudharatan yang semisalnya..
c). Di sumber air
Hal ini karena mengotori sumber air tersebut dan bahkan bisa jadi akan menajiskannya, jikalau najis yang keluar dari orang yang buang hajat tersebut sampai kepada derajat mengubah rasa, warna, atau bau dari air yang ada di sumber air tersebut. Di samping itu, buang air di tempat ini juga akan mengganggu orang yang akan memanfaatkan sumber air tersebut; sedang seorang muslim tidaklah boleh mengganggu sesamanya, sebagaimana keumuman ayat 58 dari surat al-Ahzab di atas, dan juga seorang muslim dilarang memudharatkan orang lain dan membalas kemudharatan dengan kemudharatan yang semisalnya.
Selain itu, kencing di sumber air merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan laknat, sebagaimana disebutkan dalam hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Takutlah kalian dari tiga perkara yang menyebabkan laknat!! Yaitu: buang air besar di sumber air, jalan raya, dan tempat berteduh.”
d). Di lubang
Seseorang ketika buang iar kecil di tanah lapang, dilarang melakukan kencing di lubang tempat serangga atau binatang melata lainnya. Larangan disini bersifat makruh, bukan haram, karena itulah ia menjadi diperbolehkan jikalau berhajat kepadanya dan tidak ada tempat yang lain kecuali lubang tersebut. Dasar dari larangan ini adalah:
1.      Hadits Qotadah dari Abdullah bin Sirjis, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kencing di lubang. Dikatakan kepada Qotadah: “Ada apa dengan lubang?” Beliau menjawab: “Dikatakan, bahwa lubang adalah tempat tinggan bagi jin.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: “Hadits ini didho’ifkan oleh sebagian ulama dan dishohihkan oleh sebagian yang lain. Dan paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan, karena para ulama menerimanya dan berhujjah dengannya.” (Syarh Mumthi 1/119)
2.     Ditakutkan terdapat serangga dan hewan melata lainnya yang bertempat tinggal di tempat tersebut dan kencing kita akan merusak tempat tinggalnya atai ia akan keluar dan menyakiti kita, sedangkan kita sedang kencing atau barangkali ia keluar secara tiba-tiba lalu kita menghindarinya dan akhirnya kita tidak selamat dari percikan kencing kita atau yang lebih besar dari pada hal itu.
Di kutip dari Majalah al-Mawaddah edisi khusus Tahun ke-1 Romadhon 1428 H/ Oktober-November 2007 (dengan sedikit perubahan).
 
Read More

Ya Robbama

Read More

© Majelis Ta'lim Remaja Al-Husna, AllRightsReserved.

Designed by Zy Muhammad