Sekretariat: Jl. Bintara 8 Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat (17134) Kota Bekasi Propinsi Jawa Barat Indonesia

Tampilkan postingan dengan label Akhlak Mahmudah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak Mahmudah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 November 2010

Tawadhu'



Pengertian Tawadhu’

Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.


Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).


Sekarang ini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membang-gakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuh-kannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda : Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi (HR. Muslim).


Mengukur ketawadhu’an


Sa’id Hawwa dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa percobaan yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an.


1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, misalnya dengan mengatakan, Alangkah bagusnya perkataanmu terhadap sesuatu yang belum aku ketahui. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang dibukakan oleh Allah untukku melalui kamu!, maka jika hal itu dilakukan berulang-ulang, sehingga manjadi tabiat dirinya berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan.


Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khatab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata, “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah saw berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.


2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka, dan berjalan di belakang atau di tengah, bukan di depan. Bila hal itu terasa berat, berarti masih ada kesombongan di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hal itu terasa ringan baginya, berarti sifat ketawadhu’an telah ada dalam dirinya. Abu Darda ra berkata: “Seseorang akan bertambah jauh dari Allah selama (ia menyukai) orang yang berjalan di belakangnya”.


3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).


4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Apabila ia merasa berat untuk melakukan hal tersebut, meski tidak ada orang yang melihatnya maka itu adalah kesombongan dan apabila ia tidak merasa berat kecuali bila dilihat oleh orang banyak, maka ia termasuk riya’ (ingin diperhatikan orang lain). Keduanya merupakan penyakit jiwa dan lawan dari sifat tawadhu.’


5. Hendaklah memakai pakaian yang sangat sederhana. Apabila ia merasa berat melakukannya di hadapan orang banyak, maka ia riya’ dan bila ia tidak mau melakukannya saat tidak dilihat orang banyak, maka itu adalah kesombongan. Zaid bin Wahab berkata, “Saya meilhat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang”.


Memperoleh ketawadhu’an


Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :


1. Mengenal Allah SWT


Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah SWT dan bersyukur kepadanya, sebab pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.


2. Mengenal Diri


Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. 16 : 78).


Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.


3. Mengenal Aib Diri


Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurang dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman. “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang–orang yang mengadakan perbaikan” (QS. 2 : 11).


Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.


4. Merenungkan nikmat Allah


Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlaq tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.


Selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlaq tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlaq orang-orang sholeh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.


Bangsa Indonesia yang saat ini mengalami berbagai krisis sesungguhnya terjadi karena kesombongan pemimpin dan rakyatnya. Fenomena kesombongan, berupa pengagungan kepada diri sendiri, harta, ilmu, keturunan, dan lain-lain terjadi dimana-mana. Orang yang bersikap tawadhu’ sekarang menjadi langka dan malah dikucilkan. Padahal pertolongan dan petunjuk Allah hanya diberikan kepada orang yang tawadhu’, bukan kepada mereka yang sombong. “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyom-bongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya” (QS. 7 : 146).
Read More

Kamis, 21 Oktober 2010

Zuhud

Arti kata zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat.

Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:
1. Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2. Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3. Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)

Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:
1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya
2. Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakheratan
3. Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya

Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah se’suatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah
Read More

Rabu, 15 September 2010

Adil

Adil berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya. Adil juga tidak lain ialah berupa perbuatan yang tidak berat sebelah. Para Ulama menempatkan adil kepada beberapa peringkat, yaitu adil terhadap diri sendiri, bawahan, atasan/ pimpinan dan sesama saudara. Nabi Saw bersabda, “Tiga perkara yang menyelamatkan yaitu takut kepada Allah ketika bersendiriaan dan di khalayak ramai, berlaku adil pada ketika suka dan marah, dan berjimat cermat ketika susah dan senang; dan tiga perkara yang membinasakan yaitu mengikuti hawa nafsu, terlampau bakhil, dan kagum seseorang dengan dirinya sendiri.” (HR. AbuSyeikh)
Read More

Minggu, 15 Agustus 2010

Amanah


Secara bahasa amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan) sedangkan secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…” (QS 4:58).

Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS. 33:72)

Amanah yang diberikan Allah kepda manusia meliputi :
1. Amanah Fitrah:
Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa AllaH SWT sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS 7:172).
2. Amanah Syari’ah/Din:
Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan AllaH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap Rabb-nya (QS. 33:72).
3. Amanah Hukum/Keadilan:
Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum Allah SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
4. Amanah Ekonomi:
Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS. 2: 283).
5. Amanah Sosial:
Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23: 8).
6. Amanah Pertahanan dan Kemanan:
Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS. 8:27).

Sifat mulia ini harus diamalkan oleh setiap orang. Dalam suatu sumber menyebutkan, amanah adalah asas ketahanan umat, kestabilan negara, kekuasaan, kehormatan dan roh kepada keadilan. Singkatnya, amanah berarti sesuatu yang dipercayakan sehingga kita harus menjaga amanah tersebut. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “….maka tunaikanlah oleh orang yang diamanahkan itu akan amanahnya dan bertakwalah kepada Allah Tuhannya;….” (QS. Al Baqarah: 283).
Read More

Kamis, 15 Juli 2010

Ikhlas

Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlas pada dasarnya berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, “Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah,” lalu Allah berfirman, “(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.”

Pengertian yang demikian dapat dijumpai di dalam QS. Al-Insan (76): 9, ”Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”

Ikhlas adalah inti dari setiap ibadah dan perbuatan seorang muslim. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Bayyinah: 5), ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan –keikhlasan— kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih dari sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan.
Read More

Selasa, 15 Juni 2010

Jujur


Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kata dari kidzib (bohong atau dusta). Secara morfologi, akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu mengandung arti qabila qauluhu ‘pembicarannya diterima’.

Ayat Allah yang memberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq): “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab:8)

Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:
1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata.
Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Menepati janji termasuk kategori kejujuran jenis ini.
2. Jujur dalam berniat dan berkehendak.
Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan pembohong. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut: “Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang alim, ‘Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?’ Ia menjawab, ‘Aku telah mengerjakan hal ini dan hal itu.’ Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah berbohong karena kamu ingin dikatakan bahwa si Fulan orang alim.”
3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam).
Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, “Jika Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya.” Janji atau obsesi ini harus diucapkan secara jujur.
4. Jujur dalam menepati obsesi.
Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran (shiddiq).
5. Jujur dalam beramal atau bekerja.
Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja’ (mengharapkan rahmat Allah), ta’dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal (mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan mencintai Allah.
Read More

Sabtu, 15 Mei 2010

Syukur

Syukur menurut kamus “Al-mu’jamu al-wasith” adalah mengakui adanya
kenikmatan dan menampakkannya serta memuji (atas) pemberian nikmat tersebut.Sedangkan makna syukur secara syar’i adalah : Menggunakan nikmat AllahSWT dalam (ruang lingkup) hal-hal yang dicintainya. Lawannya syukur adalah kufur.Yaitu dengan cara tidak memanfaatkan nikmat tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT.

Definisi ini ditulis oleh Ibnu Quddamah dalam bukunya “minhajul qashidin”. Bersyukur pada tataran menjadi pribadi unggul berlaku pada dua keadaan yaitu sebagai tanda kerendahan hati terhadap segala nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah sama, baik sedikit atau banyak dan sebagai ketetapan daripada Allah, supaya kebajikan senantiasa dibalas dengan kebajikan. Allah berfirman, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan sekiranya kamu mengingkari –kufur— (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Al Baqarah ayat 152 : ‘Maka ingatlah Aku ( Allah ) niscaya Aku akan mengingatimu dan syukurilah nikmatku serta jangan sekali-kali kamu menjadi kafir‘.

Lalu syukur dibagi menjadi tiga macam:
1. Syukur dengan hati,
yaitu niat melakukan kebaikan dan tidak menampakkannya kepada manusia. Adapun syukur dengan hati ialah Syukur dengan lisan ialah Rasulullah SAW. bersabda: “Membicarakan kenikmatan itu adalah syukur dan meninggalkannya adalahkekufuran(akan nikmat).” (HR.Ahmad).
2. Syukur dengan lisan,
yaitu menampakkan rasa terima kasih kepada Allah SWT dengan pujian.
3. Syukur dengan anggota badan,
ialah menggunakan seluruh nikmat Allah dalam ketaatan kepadaNya. Oleh karena makna syukur adalah menggunakan seluruh kenikmatan dengan cara yang dicintai oleh Allah, maka tidak mungkin seseorang dapat mensyukuri nikmatNya kecuali dengan mengetahui apa-apa yangdicintai oleh Allah dan apa-apa yang dibenci-Nya.
Read More

Kamis, 15 April 2010

Sabar

Sabar adalah menahan jiwa dari mendongkol, menahan lisan dari berkeluh kesah dan marah serta menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.

Sabar ada tiga macam;
(1) Sabar dalam ketaatan,
(2) Sabar dalam menahan diri dari melakukan kemaksiatan dan
(3) Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Di antara ketiga macam sabar ini, sabar dalam ketaatan adalah macam sabar yang tertinggi. 
Namun adakalanya bersabar dalam menahan diri dari kemaksiatan justeru lebih berat daripada bersabar dalam ketaatan.

Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, Seperti misalnya cobaan yang menimpa seorang laki-laki berupa godaan wanita cantik yang mengajaknya untuk berzina di tempat sunyi yang tidak diketahui siapapun selain Alloh, sementara laki-laki ini masih muda dan memendam syahwat dalam dirinya. Maka bersabar agar tidak terjatuh dalam maksiat seperti ini menjadi lebih sulit bagi jiwanya. Bisa jadi mengerjakan sholat seratus rokaat itu lebih ringan baginya daripada harus menghadapi beratnya ujian semacam ini. (Al Qoulul Mufid, Syaikh Al Utsaimin)
Read More

© Majelis Ta'lim Remaja Al-Husna, AllRightsReserved.

Designed by Zy Muhammad