Sekretariat: Jl. Bintara 8 Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat (17134) Kota Bekasi Propinsi Jawa Barat Indonesia

Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Mei 2010

Thoharoh 1 (Kitab Bulughul Maram)

عن أبي هريرة رضي الله عنه  قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم في البحر : 
((هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته)).أخرحه الأربعة وابن أبي شيبة وللفظ له وصحّحه ابن خزيمة والترمذي .
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata:Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam bersabda tentang  laut:Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (Dikeluarkan oleh empat dan Ibnu abi Syaibah ,dan hadits ini adalah lafadz ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Ibnu khuzaimah dan Tirmidziy).


Penjelasan  Umum (Sababul Wurud)
Pada asalnya hadits ini merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [sebagaimana dalam Al-Muwatha] bahwa Abu Hurairah berkata: “Seorang  pria dari Bani madlij (1) bernama ‘Abdullah (2)  datang  kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah kami menyeberangi  lautan dan kami   hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengan air tersebut maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab:
هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. ”
Beliau mengajarkan bahwa air laut itu ‘thahuur’ suci dan mensucikan, serta bangkai hewan laut itu halal, sehingga hewan-hewan yang hidup di lautan tidak perlu disembelih.
Beberapa Pelajaran Dari Hadits:
  • Hadits ini menunjukkan bahwa air laut itu suci dan mensucikan.
  • Bahwasaannya air laut dapat mengangkat (menghilangkan) najis besar dan kecil serta dapat menghilangkan najis yang menodai tempat yang suci berupa badan,pakayan,dan atau yang lainnya.
  • Air jika berubah rasa,warna dan baunya dengan sesuatu yang suci maka ia tetap suci,selama air tersebut tetap pada hakikatnya,kendatipun ia sangat asin,panas,dingin
  • Hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib membawa persediaan air yangcukip untuk bersuci meskipun mampu untuk melakukan hal tersebut,karena penanya dalam hadits ini mengabarkan bahwa mereka hanya  membawa sedikit air   .
  • Bangkai hewan laut halal, dan yang dimaksud dengan hewan laut adalah hewan yang hanya hidup di laut (habitatnya di laut), bukan hewan darat yang mati di laut.
  • Air yang dipakai untuk menghilangkan hadats dan najis harus (wajib) air yang suci dan mensucikan.
  • Keutamaan berfatwa dengan memberikan jawaban tambahan dari yang ditanyakan, hal tersebut dapat dilakukan jika seorang mufti menduga dan memperkirakan bahwa penanya akan akan mengalaminya dan ia tidak mengetahui hukumnya. Dalam hadits ini Nabi hanya ditanya tentang hukum berwudhu dengan air laut, tetapi Beliau memberikan jawaban tambahan (tentang kehalalan bangkai hewan Laut) karena beliau telah memperkirakan bahwa mereka akan berhadapan dengan masalah tersebut. Berkata Ibnul ‘Arabiy: “Hal ini termasuk bentuk kebaikkan dalam berfatwa –mahaasinil fatwa-. Seorang mufti memberikan jawaban lebih banyak dari yang ditanyakan, guna menyempurnakan faidah serta memberikan faidah berupa ilmu yang tidak ditanyakan, hal ini semakin jelas ketika nampak  kebutuhan terhadap (pengetahuan tentang) hokum tertentu-sebagai man dalam hadits ini-.
  • Pentingnya kembali dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana hal ini telah dicontohkan oleh ‘Abdullah al-Madlaji dalam hadits ini. Beliau mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air (minum) jika ia berwudhu dengan air tersebut maka ia dan kawan-kawannya akan kehausan, tetapi mereka belum mengetahui hukumnya berwudhu dengan air laut, sehingga beliau datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan hal tersebut.

Khilaf (Perbedaan Pendapat) Para ‘Ulama Tentang Hukum Memakan Hewan Laut.
Meskipun hadits di atas telah menjelaskan halalnya bangkai hewan laut, namun hal ini tetap menyisakan perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama madzhab, berikut perinciannya:
  • Al-imam Abu Hanifah berpendapat: Semua jenis ikan hukumnya halal dan selain ikan hukumnya haram, seperti anjing laut, babi laut, ular  dan semua jenis hewan yang bentuknya sama dengan hewan darat.
  • Imam Ahmad berpendapat: Semua hewan laut boleh, kecuali kodok, ular, dan buaya. Adapun (alasan pengharaman) kodok dan ular karena keduanya termasuk hewan yang menjijikkan (al-mustakhbatsaat), sedangkan buaya (karena) ia bertaring dan buas.
  • Imam Malik dan Syafi’i berpendapat; Semua hewan laut boleh tanpa kecuali. Mereka berdalil dengan firman Allah (Dihalalkan atas kalian hewan buruan laut (shaidul bahri) dan ma’na ash-shaid adalah hewan yang diburu. Dan juga sabda nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Dihalalkan untuk kami dua bangkai; belalang dan al-hut (ikan). (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Dalil yang lain; hadits yang dibahas di sini; “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Pendapat yang paling rajih: Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i (semua bangkai hewan laut halal tanpa kecuali) ,wallaahu a’ lam bish shawab.
Read More

Thoharoh 2 (Kitab Bulughul Maram)


Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنّ الماء طهور لا ينجّسه شيء
“Sesungguhnya air itu suci,tidak ada sesuatu pun yang menaji-sinya”. Diriwayatkan oleh tiga dan dishahihkan oleh Ahmad.

Penjelasan Umum.
Hadits ini dikenal nama hadits sumur budha’ah, berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; “Bolehkah kami berwudhu denagan (air) sumur budhaa’ah? Sementara kain pembalut haidh, daging anjing, dan benda-benda berbau busuk dibuang ke dalamnya? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: ”Sesungguhnya air tersebut suci dan mensucikan (thahur). . .” Al-Hadits.
Dalam hadits ini Rasulllah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa air itu suci dan mensucikan meskipun tercampur oleh sesuatu yang najis, najis tersebut tidak menajisinya, ia tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi hadits ini hanya berlaku untuk air yang mencapai dua qullah (sekitar 500 L/ 1/2 m3), karena air yang kurang dari dua qullah memungkinkan untuk terkontaminasi oleh najis  (sebagaimana akan dijelaskan pada hadits selanjutnya). Dan tidak diragukan lagi bahwa air sumur budhaa’ah mencapai dua qullah. Sumur tersebut lebarnya enam hasta, tinggi airnya maksimal sampai kelamin (ketika sedang pasang) dan minimal di bawah aurat (ketika sedang susut) sebagaimana yang dihikayatkan oleh Abu Daud. Beliau berkata; Saya bertanya kepada penjaga sumur budhaa’ah tentang kedalamannya. Seberapa tinggi airnya ketika sedang pasang? Beliau menjawab, ’sampai al-’aanah (rambut kemaluan)’. Saya bertanya lagi, jika susut? dia menjawab  ‘dibawah aurat’. Abu Daud berkata, Saya telah mengukur sumur budhaa’ah dengan bajuku. Aku bentangkan baju di atasnya lalu  aku mengukurnya dengan hasta, ternyata luasnya mencapai enam hasta. Dan saya bertanya lagi kepada yang membukakan pintu untukku. Lalu ia mengajakku masuk ke dalamnya, saya bertanya; apakah bangunannya ada yang berubah dari sebelumnya? Beliau menjawab ‘tidak’.
Pelajaran Penting Dari hadits:
1. Pentingnya merujuk dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan  yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana perintah Allah dalam Al-Quran: Fas aluu ahladz-Dzikri in kuntum Laa Ta ‘ lamuun (Bertanyalah kepada Ahlidz-dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui.
Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat yang bertanya dalam hadits ini. Beliau tidak mengetahui hukumnya berwudhu dengan air yang tercampuri oleh najis, sehingga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Hukum asalnya air itu suci.
3. Air yang banyak tidak terpengaruh oleh najis, kecuali jika berubah warna, rasa, dan baunya sebagaimana dalam hadits: “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika berubah bau, rasa, dan warnanya”. (HR Ibnu Majah dan didhaifkan (lemah) oleh Abu hatim rahimahullah.
Read More

Thoharoh 3 (Kitab Bulughul Maram)

عن أبي أمامة الباهلي رضي الله تعالى عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : إنّ الماء لا ينجّسه شيء إلا ما غلب على ريحه وطعمه ولونه.

Dari Abu umamah al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika (najis tersebut) merubah baunya, rasanya, dan warnanya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu majah dan dinyatakan dhai’f (lemah) oleh Abu hatim.
Dalam riwayat al-Baihaqiy;

الماء طهور إلاّ أن تغيّر  ريحه أو طعمه أو لونه بنجاسة تحدث فيه

“Air itu thahuur (suci dan mensucikan) ,kecuali jika berubah rasanya,baunya,dan warnanya karena najis yang terjatuh ke dalamnya”.

Beberapa Pelajaran Dari Hadits Ini.
Air yang tercampuri oleh najis namun tidak berubah warna, rasa dan baunya maka ia tetap suci dan tidak najis. Meskipun hadits ini lemah secara sanad, namun para ‘ulama sepakat bahwa ma’nanya benar, bahwa air yang salah satu dari ketiga sifatnya (warna, rasa, dan bau) berubah karena najis, maka air tersebut menjadi najis. hal ini telah ditegaskan oleh Al Imam Asy Syafi’i dan ‘ulama lainnya.
Khilaf (Perbedaan Pendapat) ‘Ulama Jika air tercampur oleh najis namun tidak berubah rasa, warna, dan baunya.

Pendapat pertama: Air tersebut tetap suci, banyak maupun sedikit, ini adalah pendapat  Al Qaasim, Yahya bin Hamzah, Imam Malik (dalam salah satu riwayat), Dzahiriyah, dan Imam Ahnad dalam salah satu riwayat. Mereka berdalil dengan hadits “Innal Maa’a Thahuurun” (sesungguhnya air itu suci).

Pendapat kedua: Jika air itu sedikit maka ia menjadi najis secara mutlak meskipun tidak berubah warna, rasa, dan baunya). Sebaliknya jika air itu banyak, maka air tersebut tidak dipengaruhi oleh najis yang mencampurinya kecuali jika warna, rasa dan baunya berubah. Ini adalah pendapat Hadawaih (Hadoyah), Hanafiyah, dan Syafi’iyah.
Madzhab kedua ini kembali berbeda pendapat dalam menentukan batasan dan standar air yang banyak dan sedikit tesebut.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa air yang banyak itu adalah jika salah satu tepinya digerakkan oleh manusia, maka gerakan (riak) itu tidak sampai di tepi yang lain.
Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i memandang bahwa batasan air yang banyak itu adalah mencapai dua qullah (+- 500 liter/1/2 m kubik).

Pendapat ketiga: Sesungguhnya najis dapat merusak (menajisi) air yang sedikit meski tidak berubah warna, rasa, dan baunya. Pedapat ini adalah riwayat (lain) dari Imam Malik.
Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang mengatakan bahwa  air yang banyak meski  tercampuri oleh najis namun tidak berubah warna, rasa dan baunya maka ia tetap suci dan dapat dipakai bersuci.
Hal ini dikuatkan oleh hadits sumur budhaa’ah (hadits ke-2). Sumur tersebut biasa ditempati membuang benda-benda najis seperti kain pembalut haidh, bangkai anjing, dan benda-benda berbau busuk. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab: “Sesungguhnya air itu suci, tidak dinajisi oleh sesuatupun” jawab beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Read More

© Majelis Ta'lim Remaja Al-Husna, AllRightsReserved.

Designed by Zy Muhammad