Sekretariat: Jl. Bintara 8 Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat (17134) Kota Bekasi Propinsi Jawa Barat Indonesia

Minggu, 15 Agustus 2010

Ghadhab

Ghadab (marah) bisa berarti keras, kasar, atau padat. Ghadab dapat diartikan sikap seseorang yang sedang marah, karena tidak senang terhadap perilaku atau perbuatan orang lain. Amarah kerap membuat seseorang bertindak kasar, jahat, bahkan sadis. Kata maaf nyaris tak berlaku pada orang yang ghadib (pemarah) yang bergejolak adalah nafsu ingin melampiaskan dendam kebencian.
Jika perilaku marah ini dibiarkan tumbuh pada diri seseorang maka kehidupan akan terasa sangat panas membara, kenyamanan individu maupun sosial akan terbang semakin jauh dari sekitar kita, yang ada rasa was-was dan khawatir serta selimut ketakutan yang akan menemani gerak langkah kita.

Mengatasi Marah
Sikap pemarah adalah suatu sikap dan perilaku yang dibenci Allah SWT. Mukmin yang baik tidak akan membiarkan dirinya digrogoti penyakit marah, ia akan dengan ikhlas dan rela meminum obat anti marah walaupun pahit, yang bermerk ‘Maaf’. Bersedia memaafkan kesalahan orang lain baik diminta ataupun tidak, kesalahan yang besar ataupun yang kerdil dengan tulus ikblas, demi mengharapkan ridha illahi, berpandangan luas, bersikap arif, bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan adalah obat peredam amarah yang amat ampuh.
Firman Allah SWT “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan ” (QS. AIi Imran: 134).
Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik adalah kesatuan nilai yang mendasari ketaqwaan. Menahan amarah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang taqwa, tetapi ciri orang pendendam. Berbagi penyakit fisik dan mental dimasak matang dalam dada yang menyimpan kemarahan. Bagaikan api memasak makanan yang jika tidak cermat bisa sampai ‘gosong’. Dan marah juga bahagian dari strategi syaitan untuk menjebak manusia kepada kesesatan.
Nabi SAW bersabda: “Sebenarnya marah itu dari syaitan, dan sesungguhnya syaitan diciptakan dari api. Dan api dapat dipadamkan dengan air, maka jika salah seorang di antara kamu marah, hendaklah ia berwudhu ” (HR. Abu Daud).
Bolehkah Marah ?
Buya Hamka menjelaskan (dalam Tasauf Moderen) kita dibolehkan marah untuk dua hal yaitu:
  1. Marah mempertahankan kehormatan. Jika anggota keluarga kita dicemarkan, dihina, dilecehkan dan direndahkan orang, Kita marah dan membalas dengan marah, mengambil pembalasan menegakkan harkat martabat keluarga dengan cara yang haq. Marah yang seperti ini diberi nama ghirah lissyaraf (cemburu menjaga kehormatan).
  2. Marah mempertahankan agama, ghirah alad-Dhin (cemburu atas agama), marah karena Allah (agama), menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemarahan dalam agama membolehkan menyerang negeri musuh yang hendak mengusir kita dari negeri sendiri, dan membunuh lawan, tetapi tidak membolehkan membakar rumah, menebang pohon yang berbuah dan menganiaya musuh yang sudah mati.
Sebagai muslim berhati-hatilah mengendalikan diri, jangan sampai terperangkap sifat marah yang akan menjerumuskan kita pada dosa dan kehinaan baik dalam pandangan Allah SWT maupun manusia.
Read More

Amanah


Secara bahasa amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan) sedangkan secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…” (QS 4:58).

Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…” (QS. 33:72)

Amanah yang diberikan Allah kepda manusia meliputi :
1. Amanah Fitrah:
Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa AllaH SWT sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS 7:172).
2. Amanah Syari’ah/Din:
Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan AllaH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap Rabb-nya (QS. 33:72).
3. Amanah Hukum/Keadilan:
Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum Allah SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
4. Amanah Ekonomi:
Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS. 2: 283).
5. Amanah Sosial:
Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23: 8).
6. Amanah Pertahanan dan Kemanan:
Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS. 8:27).

Sifat mulia ini harus diamalkan oleh setiap orang. Dalam suatu sumber menyebutkan, amanah adalah asas ketahanan umat, kestabilan negara, kekuasaan, kehormatan dan roh kepada keadilan. Singkatnya, amanah berarti sesuatu yang dipercayakan sehingga kita harus menjaga amanah tersebut. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Alquran, yang artinya: “….maka tunaikanlah oleh orang yang diamanahkan itu akan amanahnya dan bertakwalah kepada Allah Tuhannya;….” (QS. Al Baqarah: 283).
Read More

Cara Abu Nawas Merayu Tuhan


Cara Abu Nawas Merayu Tuhan



Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

***

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.


“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.


“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.

Sumber Gambar: http://www.nasa.gov/images/content/122623main_k_star.jpg
Read More

Untuk Ibunda Di Seluruh Dunia

Untuk Ibunda Di Seluruh Dunia

Pada suatu hari, ketika Hasan al-Bashri thawaf di Ka’bah, Makkah, beliau bertemu dengan seorang pemuda yang memanggul keranjang di punggungnya. Beliau bertanya padanya apa isi keranjangnya. “Aku menggendong ibuku di dalamnya,” jawab pemuda itu. “Kami orang miskin. Selama bertahun-tahun, ibuku ingin beribadah haji ke Ka’bah, tetapi kami tak dapat membayar ongkos perjalanannya. Aku tahu persis keinginan ibuku itu amat kuat. Ia sudah terlalu tua untuk berjalan, tetapi ia selalu membicarakan Ka’bah, dan kapan saja ia memikirkannya, air matanya bergelinang. Aku tak sampai hati melihatnya seperti itu, maka aku membawanya di dalam keranjang ini sepanjang perjalanan dari Suriah ke Baitullah. Sekarang, kami sedang thawaf di Ka’bah! Orang-orang mengatakan bahwa hak orangtua sangat besar. Pemuda itu bertanya, “Ya Imam, apakah aku dapat membayar jasa ibuku dengan berbuat seperti ini untuknya?” Hasan al-Bashri menjawab, “Sekalipun engkau berbuat seperti ini lebih dari tujuh puluh kali, engkau takkan pernah dapat membayar sebuah tendanganmu ketika engkau berada di dalam perut ibumu!”
******
“Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia”
***
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
*********
:: Kisah diambil dari buku Pencerah Mata Hati Karya Sheikh Muzaffer Ozak
Read More

Rodhina Ya Bani Zahra

Read More

Sholawat Badr

Read More

© Majelis Ta'lim Remaja Al-Husna, AllRightsReserved.

Designed by Zy Muhammad